Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi nasehat pada Ibnu ‘Abbas
-radhiyallahu ‘anhuma-,
احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ
“Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu.”[1]
Yang dimaksud menjaga Allah di sini adalah menjaga batasan-batasan, hak-hak, perintah,
dan larangan-larangan Allah. Yaitu seseorang menjaganya dengan
melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan tidak melampaui
batas dari batasan-Nya (berupa perintah maupun larangan Allah). Orang
yang melakukan seperti ini, merekalah yang menjaga
diri dari batasan-batasan Allah sebagaimana yang Allah puji dalam
kitab-Nya,
هَذَا مَا تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ (٣٢)مَنْ خَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ وَجَاءَ بِقَلْبٍ مُنِيبٍ (٣٣)
“Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada Setiap hamba yang selalu kembali (kepada
Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya),
(yaitu) orang yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah sedang Dia
tidak kelihatan (olehnya) dan Dia datang dengan hati yang bertaubat.” (QS. Qaaf: 32-33). Yang dimaksud
dengan menjaga di sini adalah menjaga setiap perintah Allah dan menjaga diri dari berbagai dosa serta bertaubat darinya.[2]
Menjaga Hak Allah
Di antara bentuk penjagaan hak Allah sebagai berikut.
Pertama: Menjaga shalat
Yang utama untuk dijaga adalah shalat lima waktu yang wajib sebagaimana yang Allah firmankan,
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ (٢٣٨)
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa (shalat Ashar)[3].
Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (QS. Al Baqarah: 238). Yang dimaksud shalat wustho di sini adalah shalat Ashar menurut kebanyakan ulama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan keras orang yang
meninggalkan shalat Ashar sebagaimana dalam sabdanya,
مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ
“Barangsiapa meninggalkan shalat Ashar, maka hapuslah amalannya.”[4]
Allah Ta’ala pun memuji orang-orang yang menjaga shalatnya dalam ayat lainnya,
وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلاتِهِمْ يُحَافِظُونَ
“Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.” (QS. Al Ma’arij: 34)
Begitu pula termasuk dalam hal ini adalah dengan menjaga thoharoh (bersuci) karena thoharoh
adalah pembuka shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلاَ يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلاَّ مُؤْمِنٌ
“Tidak ada yang selalu menjaga wudhu melainkan ia adalah seorang mukmin.”[5]
Kedua: Menjaga kepala dan perut
Begitu pula kita diperintahkan untuk menjaga kepala dan perut. Sebagaimana Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
الاِسْتِحْيَاءَ مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَتَحْفَظَ الْبَطْنَ وَمَا حَوَى
“Sifat malu pada Allah yang sebenarnya adalah engkau menjaga kepalamu dan setiap yang
ada di sekitarnya, begitu pula engkau menjaga perutmu serta apa yang ada di dalamnya.”[6] Yang
dimaksud
menjaga kepala dan setiap apa yang ada di sekitarnya, termasuk di
dalamnya adalah menjaga pendengaran, penglihatan dan lisan dari berbagai
keharaman. Sedangkan yang dimaksud menjaga perut dan segala apa yang
ada di dalamnya, termasuk di dalamnya adalah
menjaga hati dari terjerumus dalam yang haram.[7] Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ
“Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah
kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah: 235)
Allah Ta’ala juga berfirman,
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya.” (QS. Al Isro’: 36)
Ketiga: Menjaga lisan
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يَضْمَنْ لِى مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang menjamin padaku apa yang ada di antara dua janggutnya (yaitu bibirnya)
dan antara dua kakinya (yaitu kemaluan), maka ia akan masuk surga.”[8]
Keempat: Menjaga kemaluan
Allah memuji orang-orang yang menjaga kemaluan dalam beberapa ayat. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ
لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandanganya,
dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat“.” (QS. An Nur: 30)
وَالْحَافِظِينَ
فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا
وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang
banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Ahzab: 35)
وَالَّذِينَ
هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6)
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.” (QS. Al Mu’minun: 5-6)[9]
Yang lebih penting dari hal di atas dan merupakan hak Allah yang paling utama untuk
dijaga adalah mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya (baca: berbuat syirik). Karena syirik adalah kezholiman yang teramat besar. Luqman pernah berkata pada anaknya,
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya kesyirikan adalah kezholiman yang paling besar.” (QS. Luqman: 13)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika membonceng Mu’adz dengan keledai
-yang bernama ‘Ufair-, beliau bersabda,
«
يَا مُعَاذُ ، هَلْ تَدْرِى حَقَّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ وَمَا حَقُّ
الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ » . قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ . قَالَ
« فَإِنَّ حَقَّ
اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلاَ يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ،
وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لاَ يُعَذِّبَ مَنْ لاَ يُشْرِكُ
بِهِ شَيْئًا »
“Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah yang wajib ditunaikan oleh hamba-Nya dan
apa hak hamba yang berhak ia dapat dari Allah?” Mu’adz mengatakan, ”Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Hak
Allah yang wajib ditunaikan oleh setiap hamba adalah mereka harus
menyembah
Allah dan tidak boleh berbuat syirik pada-Nya dengan sesuatu apa pun.
Sedangkan hak hamba yang berhak ia dapat adalah Allahh tidak akan
menyiksa orang yang tidak berbuat syirik kepada-Nya dengan sesuatu apa
pun.”[10] Inilah
hak Allah yang mesti dan wajib ditunaikan oleh setiap hamba sebelum hak-hak lainnya.
Siapa yang Menjaga Hak Allah, maka Allah akan Menjaganya
Barangsiapa menjaga diri dengan melakukan perintah dan menjauhi larangan, maka ia akan
mendapatkan penjagaan dari Allah Ta’ala.
احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ
“Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu.”
Inilah yang dimaksud al jaza’ min jinsil ‘amal, yaitu balasan sesuai dengan amal
perbuatan. Sebagaimana Allah mengatakan dalam ayat-ayat lainnya.
وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ
“Dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu.” (QS. Al
Baqarah: 40)
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” (QS. Al
Baqarah: 152)
إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ
“Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu.” (QS. Muhammad:
7)
Bentuk Penjagaan Allah
Jika seseorang menjaga hak-hak Allah sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka Allah
pun akan selalu menjaganya. Bentuk penjagaan Allah ada dua macam, yaitu:
Penjagaan pertama: Allah akan menjaga urusan dunianya yaitu ia akan mendapatkan
penjagaan diri, anak, keluarga dan harta.
[Penjagaan melalui Malaikat Allah]
Di antara bentuk penjagaan Allah adalah ia akan selalu mendapatkan penjagaan dari malaikat
Allah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan
di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.” (QS. Ar Ro’du: 11). Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
“Setiap hamba memiliki malaikat yang selalu menemaninya. Malaikat
tersebut akan menjaganya siang dan malam. Mereka akan menjaganya
danri berbagai kejelekan dan kejadian-kejadian.”[11] Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Mereka adalah
para malaikat yang akan selalu menjaganya atas perintah Allah. Jika
datang ajal barulah malaikat-malaikat tadi meninggalkannya.” Inilah
salah bentuk penjagaan Allah melalui para malaikat bagi
orang yang selalu menjaga hak-hak Allah.
[Penjagaan di Kala Usia Senja]
Begitu pula Allah akan menjaga seseorang di waktu tuanya, jika ia selalu menjaga hak
Allah di waktu mudanya. Allah akan menjaga pendengaran,
penglihatan, kekuatan dan kecerdasannya. Inilah maksud yang kami
singgung dalam judul artikel ini.
Sebagaimana
kami pernah membaca dalam salah satu buku fiqh madzhab Syafi’i, matan
Abi
Syuja’. Dalam buku tersebut diceritakan mengenai penulis matan yaitu Al
Qodhi Abu Syuja’ (Ahmad bin Al Husain bin Ahmad Asy Syafi’i rahimahullah Ta’ala).
Perlu diketahui bahwa beliau adalah di antara ulama yang meninggal
dunia di usia sangat tua. Umur
beliau ketika meninggal dunia adalah 160 tahun (433-596 Hijriyah).
Beliau terkenal sangat dermawan dan zuhud. Beliau sudah diberi jabatan
sebagai qodhi pada usia belia yaitu 14 tahun. Keadaan beliau di usia
senja (di atas 100 tahun), masih dalam keadaan sehat
wal afiat. Begitu pula ketika usia senja semacam itu, beliau masih
diberikan kecerdasan. Tahukah Anda apa rahasianya? Beliau tidakk punya
tips khusus untuk rutin olahraga atau yang lainnya. Namun perhatikan apa
tips beliau, “Aku selalu menjaga anggota badanku
ini dari bermaksiat pada Allah di waktu mudaku, maka Allah pun menjaga anggota badanku ini di waktu tuaku.”
Cobalah lihat, beliau bukanlah memberikan kita tips untuk banyak
olahraga. Namun apa tips beliau? Yaitu taat pada Allah dan menjauhi
segala maksiat
di waktu muda.[12]
Ibnu Rajab rahimahullah juga
pernah menceritakan bahwa sebagian ulama ada
yang sudah berusia di atas 100 tahun. Namun ketika itu, mereka masih
diberi kekuatan dan kecerdasan. Coba bayangkan bagaimana dengan keadaan
orang-orang saat ini yang berusia seperti itu? Diceritakan bahwa di
antara ulama tersebut pernah melompat dengan lompatan
yang amat jauh. Kenapa bisa seperti itu? Ulama tersebut mengatakan, “Anggota
badan ini selalu aku jaga agar jangan sampai berbuat maksiat di kala
aku muda. Balasannya, Allah menjaga anggota badanku ini di waktu tuaku.” Namun ada orang yang sebaliknya,
sudah berusia senja, jompo dan biasa mengemis pada manusia. Para ulama pun mengatakan tentang orang tersebut, “Inilah orang yang selalu melalaikan hak Allah di waktu mudanya, maka Allah pun melalaikan dirinya di waktu tuanya.”[13]
[Penjagaan pada keturunan]
Begitu
pula Allah akan menjaga keturunan orang-orang sholih dan selalu taat
pada Allah.
Di antaranya kita dapat melihat pada kisah dua anak yatim yang mendapat
penjagaan Allah karena ayahnya adalah orang yang sholih. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَمَّا
الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ
تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا
“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya
ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” (QS. Al Kahfi: 82). ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz pernah mengatakan, “Barangsiapa seorang mukmin itu mati (artinya: ia selalu menjaga hak Allah, pen), maka Allah akan senantiasa
menjaga keturunan-keturunannya.”
Sa’id bin Al Musayyib mengatakan pada anaknya, “Wahai anakku, aku selalu memperbanyak
shalatku dengan tujuan supaya Allah selalu menjagamu.”[14]
Ibnu
Rajab Al Hambali mengatakan, “Barangsiapa menjaga (hak-hak) Allah, maka
Allah akan
menjaganya dari berbagai gangguan.” Sebagian salaf mengatakan,
“Barangsiapa bertakwa pada Allah, maka Allah akan menjaga dirinya.
Barangsiapa lalai dari takwa kepada Allah, maka Allah tidak ambil peduli
padanya. Orang itu berarti telah menyia-nyiakan dirinya
sendiri. Allah sama sekali tidak butuh padanya.”
Jika
seseorang berbuat maksiat, maka ia juga dapat melihat tingkah laku yang
aneh pada
keluarganya bahkan pada hewan tunggangannya. Sebagaimana sebagian salaf
mengatakan, “Jika aku bermaksiat pada Allah, maka pasti aku akan menemui
tingkah laku yang aneh pada budakku bahkan juga pada hewan
tungganganku.”[15]
Penjagaan kedua:
Penjagaan yang lebih dari penjagaan pertama, yaitu Allah
akan menjaga agama dan keimanannya. Allah akan menjaga dirinya dari
pemikiran rancu yang bisa menyesatkan dan dari berbagai syahwat yang
diharamkan. Inilah penjagaan yang lebih luar biasa dari penjagaan
pertama tadi.
Hal ini dapat kita lihat sebagaimana dalam do’a sebelum tidur yang Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ,
بِاسْمِكَ
رَبِّ وَضَعْتُ جَنْبِى وَبِكَ أَرْفَعُهُ ، إِنْ أَمْسَكْتَ نَفْسِى
فَاغْفِرْ لَهَا ، وَإِنْ أَرْسَلْتَهَا فَاحْفَظْهَا بِمَا تَحْفَظُ بِهِ
عِبَادَكَ
الصَّالِحِينَ
“Dengan
menyebut nama-Mu, aku meletakkan lambungku, dan dengan nama-Mu aku
mengangkatnya.
Jika engkau ingin menarik jiwaku, maka ampunilah ia. Jika engkau ingin
membiarkannya, maka jagalah ia sebagaimana engkau menjaga hamba-hambaMu
yang sholih”[16] Dalam
do’a ini terlihat bahwa Allah akan senantiasa menjaga orang-orang yang sholih.[17]
Demikian pembahasan yang singkat dari hadits di atas. Semoga hadits ini bisa selalu menjadi
pengingat dalam setiap langkah kita. Jagalah hak Allah, niscaya Allah akan menjagamu.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan di Boyolali (Jawa Tengah), 30 Shofar 1431 H (bertepatan dengan 14 Februari
2010)
Penulis: Muhammad
Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] HR.
Tirmidzi no. 2516 dan Ahmad 1/303. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[2] Lihat
Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 223, Darul Muayyid, cetakan pertama, tahun 1424 H.
[3] Yang
dimaksud shalat wusthaa terdapat lima pendapat. Ada yang
mengatakan bahwa itu adalah shalat Ashar. Ada juga yang mengatakan bahwa
itu adalah shalat Shubuh, Zhuhur, Maghrib atau Isya (Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 1/241, Mawqi’ At Tafaasir).
Namun kebanyakan ulama mengatakan bahwa yang dimaksud shalat wustha adalah shalat
Ashar sebagaimana banyak yang meriwayatkan hal ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yang memilih pendapat ini adalah ‘Ali, Abdullah bin Mas’ud, Abu Ayyub,
Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ibrahim An Nakhoi, Qotadah dan Al Hasan (Lihat Ma’alimut
Tanzil, Al Husain bin Mas’ud Al Baghowi, 1/288, Dar Thoyibah, cetakan keempat, tahun 1417 H)
[4] HR.
Bukhari no. 553, dari Buraidah.
[5] HR.
Ibnu Majah no. 277, dari Tsauban. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[6] HR..
Tirmidzi no. 2458, dari Abdullah bin Mas’ud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[7] Demikian
penjelasan Ibnu Rajab dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 224.
[8] HR.
Bukhari no. 6474, dari Sahl bin Sa’ad.
[9] Lihat Jaami’ul
‘Ulum wal Hikam, hal. 223-224.
[10] HR.
Bukhari no. 2856 dan Muslim no. 30.
[11] Tafsir
Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 8/114, Muassasah Qurthubah.
[12] Demikian
cerita yang kami peroleh dengan sedikit perubahan redaksi dari kitab Matan Al Ghoyah wat Taqrib, yang memberikan syarh terhadapMatan Abi Syuja’ (Ikhtishorul Ghoyah).
[13] Lihat Jaami’ul
‘Ulum wal Hikam, hal. 225.
[14] Idem.
[15] Lihat Jaami’ul
‘Ulum wal Hikam, hal. 225-226.
[16] HR.
Bukhari no. 7393 dan Muslim no. 2714.
[17] Lihat Jaami’ul
‘Ulum wal Hikam, hal. 226.
0 komentar:
Post a Comment
Tinggalkan Komentar Disini