Tidak sedikit di antara ikhwan dan akhwat, sebelum mereka
menyandang status ‘ikhwan‘ dan ‘akhwat‘,
sebelum akrab dengan panggilan ‘akhi‘ dan ‘ukhti‘,
mereka memiliki masa
lalu yang kelam.
Sebatas ilustrasi
Barangkali diantara mereka, ada yang dulunya suka pacaran
dan gonta-ganti cowok ataupun cewek. Ada yang
dulunya pegawai bank ribawi. Ada yang mantan preman, ada juga mantan
gitaris, tentu akrab sekali dengan si gitar kesayangannya. Banyak
yang dulunya suka pamer aurat atau karyawati dengan dandanan yang
seronok. Belum lagi yang dulunya maniak nonton sinetron seronok dan
tayangan pornoaksi. Bahkan tidak sedikit pula di antara mereka yang
berasal dari keluarga yang berada, yang seolah-olah identik dengan
serba ada, mau apa aku bisa, sehingga dulunya ada yang sudah
terbiasa dengan kemaksiatannya orang kaya.
Walaupun di antara mereka banyak juga yang berstatus hidup
pas-pasan, seolah-olah hidupnya bermoto pas butuh, pas ada,
Padahal ada diantara mereka yang sesunguhnya keadaannya pas butuh
pas ada (utangan riba), kredit riba ini dan utang bank riba itu,
karono kahanan (karena keadaan), begitu alasannya.
Padahal sesungguhnya, pola hidup konsumtiflah yang menjadi biang
keladinya. Barangkali seputar itulah gambaran kelamnya, namanya juga
belum ngaji.
Lalu Allah pun memberi hidayah!
Dengan berbagai jalan
hidayah yang unik, akhirnya mereka memasuki pintu-pintu hidayah
masing-masing. Mulailah mereka kenal dengan aktivitas baru, berupa
ngaji salaf. Seiring dengan bertambahnya ilmu dan amal,
mulailah banyak muncul dalam hati mereka pergolakan antara haq
dan batil antara taat dan maksiat.
Perlahan tapi pasti hidayah itu menghujam dalam hati
Ketika cinta kepada Allah telah merasuk dalam hati, lalu
membuahkan halawatul iman (kemanisan iman), maka Allahlah
segalanya bagi hati tersebut.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ
الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا
سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ
لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ
يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ
كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
beliau bersabda: “Tiga perkara yang apabila ada pada diri
seseorang, ia akan mendapatkan manisnya iman (Ketika) Allah dan
Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya. Jika ia mencintai
seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah. Dan dia benci
kembali kepada kekufuran seperti dia benci bila dilempar ke Neraka”
(Hadis Riwayat Bukhari, Kitab Iman, Bab Manisnya Iman).
Itulah pokok keimanan, yaitu ketika Allah adalah segalanya baginya
dengan menomorsatukan cinta Allah dan mengalahkan seluruh bentuk
kecintaan lainnya yang bertentangan dengannya.Karena cinta
Allahlah, kita harus memilih kebenaran dan meninggalkan kebatilan.
Hanya demi Allahlah seorang mukmin rela meninggalkan seluruh catatan
kelamnya, walaupun berat dirasa.
Cinta kepada Allah adalah sebuah kewajiban, yang wajib kita
dahulukan di atas semua jenis cinta.
Ulama
telah menjelaskan bahwa Hubbullah (cinta Allah) adalah pokok
dari seluruh kecintaan yang baik, Ibnul Qoyyim rahimahullah
berkata,
وكل ما سواه مما يحب فإنما
محبته تبع لمحبة الرب تبارك وتعالى كمحبة
ملائكته أنبيائه وأوليائه، فإنها تبع
لمحبته سبحانه، وهي من لوازم محبته، فإن
محبة المحبوب توجب محبة ما يحبه
“Segala sesuatu yang dicintai selain-Nya, sesungguhnya kecintaan
kepadanya mengikuti kecintaan kepada Ar-Rabb Tabaraka wa Ta’ala,
seperti kecintaan kepada Malaikat,
Nabi-Nabi, dan para wali-Nya, maka sebenarnya kecintaan-kecintaan itu
mengikuti kecintaan kepada-Nya Subhanahu.
Kecintaan-kecintaan itu sekaligus sebagai konsekuensi kecintaan
kepada-Nya karena mencintai sesuatu (Dzat) itu mengharuskan mencintai
perkara yang dicintai oleh sesuatu (Dzat) tersebut”(Ad-Daa`wad
Dawaa`: 276).
Maksudnya, bahwa dalam kehidupan seorang muslim, dasar
aktivitasnya adalah Hubbullah (mencintai Allah), sedangkan
mencintai Allah berkonsekuensi mencintai segala yang dicintai
oleh-Nya dan membenci segala yang dibenci oleh-Nya.
Sebagaimana perkataan Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah,
فحقيقة المحبة لا يتم إلا
بموالاة المحبوب، و هو موافقته في حبه ما
يحب و يبغض ما يبغض. و الله
يحب الإيمان و التقوى و يبغض الفسوق و
العصيان
“Hakikat cinta tidaklah sempurna kecuali dengan loyal kepada
yang dicintainya, yaitu menyesuaikan diri, dengan mencintai setiap
perkara yang dicintai olehnya dan membenci setiap perkara yang
dibenci olehnya” (Al-‘Ubudiyyah, Ibnu Taimiyyah :28).
Itulah hakikat cinta Allah. Kecintaan kepada Allah yang seperti
inilah yang sesuai dengan fitrah manusia yang lurus dan sesuai dengan
tujuan diciptakannya hati manusia,
و القلب خلق يحب الحق و يريده
و يطلبه
“Hati diciptakan untuk mencintai Allah,menginginkan (berjumpa
dengan)-Nya dan berusaha mendapatkan (keridhaan)-Nya”
(Al-‘Ubudiyyah, Ibnu Taimiyyah:26).
Kiat mudah meninggalkan masa lalu yang hitam
Berikut trik mudah untuk bisa meninggalkan catatan kelam dan
kemaksiatan yang sudah terbiasa dilakukan
- Mencintai sesuatu yang paling menyenangkan hati, dengan
demikian akan bisa terkalahkan seluruh kecintaan yang lain yang
bertentangan dengannya. Dan tidak ada yang lebih menyenangkan hati
daripada mencintai Allah.
Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
والإنسان لا يَترُك محبوبًا إلا بمحبوبٍ آخَرَ يكون أحبَّ إليه منه، أو خوفًا مِن مكروه
“Seseorang tidaklah meninggalkan sesuatu yang dicintai kecuali beralih kepada sesuatu lain yang lebih ia cintai darinya atau karena takut tertimpa sesuatu yang dibencinya” (Al-‘Ubudiyyah, 26).
Dengan demikian, harusnya seorang hamba lebih mencintai hidup dalam ketaatan kepada Allah daripada kesukaan buruk dan hobi maksiatnya karena sudah ada penggantinya berupa sesuatu yang lebih menyenangkan hatinya bahkan paling menyenangkan, sehingga sukarela ia tinggalkan hobi dan kesukaan buruknya tersebut.
- Dengan menyadari bahwa setiap cinta itu butuh
pengorbanan.Jangankan cinta yang benar, cinta yang batil,
maksiat ataupun cinta yang sia-sia pun butuh pengorbanan untuk
mendapatkannya.Tidakkah Anda lihat para penggemar musik seronok,
untuk mendatangi konser musik besar rela berkorban uang biaya
transport dan penginapan jika mereka datang dari luar kota. Mereka
mengorbankan waktu berjam-jam antri tiket dengan antrian yang
mengular itu. Mengorbankan badan dan bahkan nyawa ketika harus
terjadi tawuran antar penonton. Bahkan ia rela meninggalkan shalat
‘ashar, maghrib dan isya’ demi mengikuti acara tersebut.Tidakkah
Anda lihat para pecinta demonstrasi produk demokrasi kuffar
tersebut, ketika demo, mereka rela berkorban puluhan juta dan
merasakan nyerinya pentungan polisi serta dinginnya sel penjara.
Mereka rela pula tidak makan berhari-hari di bawah bendera aksi
mogok makan? Benarlah apa yang dijelaskan Imam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah,
و معلوم أن المحبوبات لا تنال غالبا إلا باحتمال المكروهات، سواء كانت محبة صالحة أو فاسدة
“Adalah perkara yang dimaklumi bahwa biasanya tidaklah diperoleh perkara yang dicintai itu kecuali dengan pengorbanan yang tidak disukai (oleh hawa nafsunya), hal ini berlaku, baik dalam kecintaan yang baik maupun dalam kecintaan yang buruk” (Al-‘Ubudiyyah, Ibnu Taimiyyah :29).
Lha yen podo-podo korbane, kalau sama-sama berkorbannya, mengapa mereka tidak berkorban untuk mencintai Allah dan beribadah kepada-Nya? Mengapa tidak memilih berkorban untuk masuk Surga?
- Merenungkan kaidah Qur’ani : Barangsiapa yang
meninggalkan sesuatu karena Allah niscaya Allah menggantinya dengan
sesuatu yang lebih baik darinya.Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di
rahimahullah dalam Al-Qowa’idul Hisan-nya berkata,
من ترك شيئا لله عوضه الله خيرا منه
“Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik darinya”. Lalu beliau menjelaskan lebih lanjut, “Kaidah ini terdapat dalam banyak Ayat Al-Quran.
Contohnya:
- Kaum Muhajirin yang pertama-tama hijrah meninggalkan negri, harta, dan orang-orang yang dicintainya,lalu Allah menggantinya dengan rezeki yang luas, kemuliaan dan kekuasaan.
- Nabi Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memisahkan diri dari kaum dan bapaknya, serta menjauh dari sesembahan yang mereka sembah, Allah pun menganugerahkan kepadanya Nabi Ishaq dan Nabi Ya’qub serta keturunan-keturunan yang shalih.
- Nabi Yusuf ‘alaihis salam ketika mampu menahan diri dari berbuat jelek terhadap Istri raja, padahal godaannya sangat kuat, beliau pun rela tinggal di penjara, demi menjauhkan diri dari kerusakan dan fitnah, maka Allah pun menggantinya dengan kekuasaan yang besar di muka bumi, dengan fasilitas harta, kekuasaan dan wanita untuk beliau.
- Ashhabul Kahfi, ketika meninggalkan kaum mereka dan sesembahan kaum mereka, Allah berkenan menggantinya dengan limpahan rahmatnya dan kelapangan serta Allah jadikan mereka sebagai sebab hidayah bagi orang-orang yang sesat.
- Maryam putri ‘Imran, tatkala mampu menjaga kehormatannya, maka Allah jadikan beliau dan putranya sebagai tanda kebesaran Allah Ta’ala.
- Nabi Sulaiman ‘alaihis salam ketika mengorbankan
kuda karena sempat melalaikan beliau dari dzikrullah, Allah ganti
dengan angin yang patuh terhadap perintahnya dan nikmat yang
lainnya. (Syarh Al-Qowa’idul Hisan : 206, dengan
sedikit perubahan).
Sekarang giliran Anda bergumam dalam hati
Tidaklah aku tinggalkan catatan kelamku, tidaklah aku keluar dari
dunia hitamku dengan Lillah Ta’ala melainkan Allah akan
menganugerahkan kepadaku limpahan rahmat-Nya yang mengalahkannya.
Demikianlah Allah, Rabb kita, wahai Ikhwan dan
Akhwat! Tidaklah seorang hamba meninggalkan dengan ikhlas
sesuatu yang dimurkai oleh Allah, kecuali ia akan mendapatkan sesuatu
yang dicintai-Nya.
Dan tidaklah Dia Subhanahu wa Ta’ala mencegah hamba-Nya
yang beriman dari mendapatkan dunia kecuali akan memberinya sesuatu
yang lebih utama dan lebih bermanfaat, di dunia maupun di akhirat.
Jika Antum dan Antunna ingin lebih mengenal betapa
bijaksananya Allah ‘Azza wa Jalla dalam mentaqdirkan keadaan kita
semua maka ikuti kelanjutan artikel ini berikut Karena cinta, aku
harus memilih (bag.2), insyaAllah di sana Anda akan
dapatkan hikmah Allah dalam penakdiran keadaan setiap mukmin dan
bagaimana balasan di surga bagi orang yang rela meninggalkan sesuatu
yang terlarang semasa di dunia.
—
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
0 komentar:
Post a Comment
Tinggalkan Komentar Disini